ABSTRAK
Katrin
A L. Tobing, 13211919
MORALITAS KORUPTOR
Jurnal, Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas
Gunadarma, 2014
Kata
kunci : Moralitas, Korupsi
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengertian
moralitas dan korupsi. Latar belakang dari penulisan ini adalah kian maraknya
korupsi di Indonesia dan dampaknya terhadap negara. Salah satu contohnya adalah
korupsi yang melibatkan Mantan Dirut RS Cibabat Cimahi.
Data yang digunakan dalam
penulisan ini adalah data sekunder yaitu data yang didapat dari buku-buku dan
internet. Dalam penulisan ini dapat disimpulkan bahwa masih banyak terjadi
tindak pidana korupsi yang melibatkan para kepala daerah yang seharusnya
menjadi panutan bagi daerahnya. Pendidikan dan kepercayaan masyarakat yang
tinggi tidak menjamin seorang manusia tidak melakukan korupsi.
Berdasarkan hasil penulisan maka didapatkan hasil
bahwa korupsi telah menghilangkan moralitas seseorang. Untuk mencari keuntungan
pribadi maka para koruptor mengesampingkan nilai-nilai moral yang seharusnya
dijunjung tinggi sebagai manusia juga sebagai pengemban amanat rakyat.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kasus
korupsi bukan lagi sekedar masalah yang biasa di Negara Indonesia. Korupsi di
Indonesia tidak ada habis-habisnya dari tahun ke tahun, bahkan semakin
berkembang. Hal ini merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu,
sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung. Korupsi merupakan
ancaman bagi kelansungan bangsa ini. Tindak pidana korupsi berdampak luas,
bukan hanya menyangkut keuangan negara, tetapi juga mampu merusak sistem
pemerintahan, perekonomian dan pembangunan. Untuk itu pemberantasan tindak
korupsi itu dilakukan dengan cara luar biasa dengan menggunakan cara-cara
khusus.
Pemerintah
pusat membentuk suatu badan khusus untuk memberantas korupsi, yaitu Komisi
Pemberantasan Korupsi. KPK merupakan lembaga yang harus membuktikan kerucigaan
mereka terhadap seseorang tentang apakah mereka melakukan korupsi atau tidak
yang berkaitan dengan bidang ekonomi.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Pentingnya
moralitas bagi setiap warga Negara
2.
Penyebab
terjadinya korupsi
1.3 Batasan
Masalah
Dalam penyusunan penulisan
ini, penulis membatasi menjadi beberapa sub pokok bahasan meliputi :
1.
Pengertian
korupsi
2.
Pengertian
moral dan moralitas
3.
Jenis
korupsi
4.
Penyebab
korupsi
5.
Dampak
korupsi
6.
Pemberantasan
korupsi
1.4 Maksud
dan Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini
untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Bisnis dalam membuat jurnal atau tulisan
mengenai Moralitas Koruptor. Maksud dari penulisan ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui pengertian korupsi
2.
Untuk
mengetahui pengertian moral dan moralitas
3.
Untuk
mengetahui jenis-jenis korupsi
4.
Untuk
mengetahui penyebab terjadinya korupsi
5.
Untuk
mengetahui dampak adanya korupsi
6.
Untuk
mengetahui cara pemberantasan korupsi
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Pengertian
Korupsi
Dilihat dari segi
peristilahan, kata Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau menurut
Webster Student Dictionary adalah corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa
corruptio itu pula berasal dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang
lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa di Eropa seperti
inggris: corruption, corrupt; Prancis: corruption; Belana: corruptie
(korruptie). Dapat diduga istilah korupsi berasal dari bahasa belanda ini yang
kemudian di adopsi ke bahasa Indonesia: “korupsi”.
Arti harfiah dari kata
itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
menfitnah. Arti kata Korupsi yang telah diterima dalam pembendaharaan kata bahasa
Indonesia itu: “Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya.”
2.2 Pengertian
Moral dan Moralitas
1.
Moral
Moral merupakan
pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradab. Moral juga
berarti ajaran yang baik dan buruk perbuatan dan kelakuan
(akhlak). Moralisasi, berarti uraian (pandangan, ajaran) tentang perbuatan
dan kelakuan yang baik. Demoralisasi, berarti kerusakan moral. Jadi, moral
adalah aturan kesusilaan, yang meliputi semua norma kelakuan, perbuatan tingkah
laku yang baik. Kata susila berasal dari bahasa
Sansekerta, su artinya “lebih baik”, sila berarti “dasar-dasar”,
prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan hidup. Jadisusila berarti
peraturan-peraturan hidup yang lebih baik.
2.
Moralitas
Menurut W. Poespoprodjo, moralitas
adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan itu kita berkata bahwa
perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk atau dengan kata lain moralitas
mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia.
Immanuel Kant, mengatakan bahwa
moralitas itu menyangkut hal baik dan buruk, yang dalam bahasa Kant, apa yang
baik pada diri sendiri, yang baik pada tiap pembatasan sama sekali. Kebaikan
moral adalah yang baik dari segala segi, tanpa pembatasan, jadi yang baik bukan
hanya dari beberapa segi, melainkan baik begitu saja atau baik secara
mutlak.
2.3 Jenis
Korupsi
Jenis korupsi yang lebih operasional juga
diklasifikasikan oleh tokoh reformasi, M. Amien Rais yang menyatakan sedikitnya
ada empat jenis korupsi, yaitu (Anwar, 2006:18):
1.
Korupsi ekstortif, yakni
berupa sogokan atau suap yang dilakukan pengusaha kepada penguasa.
2.
Korupsi manipulatif, seperti
permintaan seseorang yang memiliki kepentingan ekonomi kepada eksekutif atau
legislatif untuk membuat peraturan atau UU yang menguntungkan bagi usaha
ekonominya.
3.
Korupsi nepotistik, yaitu
terjadinya korupsi karena ada ikatan kekeluargaan, pertemanan, dan
sebagainya.
4.
Korupsi subversif, yakni
mereka yang merampok kekayaan negara secara sewenang-wenang untuk dialihkan ke
pihak asing dengan sejumlah keuntungan pribadi.
BAB III
METODOLOGI PENULISAN
3.1 Objek Penelitian
Objek penulisan ini
adalah kasus korupsi Mantan
Dirut RS Cibabat Cimahi.
3.2 Data yang digunakan
Data yang digunakan
adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh penulis secara tidak langsung
(melalui media perantara).
3.3 Metode pengumpulan data
Metode
pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan yaitu mengadakan penelaahan
terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan
yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan serta menggunakan metode
searching di internet, yaitu dengan membaca referensi-referensi berkaitan
dengan masalah yang dibahas dalam tugas ini.
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1 Sejarah
terjadinya korupsi
Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh
“budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan,
kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin
berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh
keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan:
Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit
(pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan
Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng
Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya
beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi
dan Kekuasaan diIndonesia.
Era Pasca Kemerdekaan
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah
dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun
ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran,
singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan
Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu
oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di
depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan
rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan
ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa
Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud
dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)
yang diketuai Jaksa Agung.
Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan
sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan,
maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit
“Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah
membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan
meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan
Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru
Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum
pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
4.2 Faktor
Penyebab terjadinya korupsi
Ada 6 faktor utama penyebab muncul dan berkembangnya korupsi di Indonesia
berdasarkan studi yang dilakukan oleh Ilham Gunawan maupun Theodore M. Smith:
1. Faktor Politik, yaitu terutama
melibatkan persoalan kemauan atau itikad baik rezim dan elite politik dalam
menyelesaikan kasus politik.
2. Faktor Yuridis, yaitu persoalan masih
lemahnya perundang-undangan dan sanksi hukum yang terkait dengan persoalan
korupsi. Termasuk dalam hal ini adalah komitmen dan integritas aparat.
3. Faktor Budaya, termasuk di dalamnya
adalah masih berkembangnya pandangan feodalistik dan sikap ingin dilayani serta
hidup mewah, yang bekerja dalam alam bawah sadar kebanyakan aparat dan elite
pemerintahan.
4. Faktor Struktur Administrasi
Pemerintahan, terutama lemahnya pengawasan, yang membuka peluang terjadinya
praktik korupsi.
5. Faktor Insentif Ekonomi yang tidak
berimbang sehingga “secara rasional” cukup memancing aparat birokrasi untuk
mencari tambahan dengan cara-cara menyalahgunakan wewenang.
6. Faktor Historis, dalam hal ini terkait
dengan soal dua warisan utama kolonialisme yankni hadirnya “mental korup” dan
struktur pemerintahan yang berorientasi menjadi pelayan atasan (pangreh praja)
ketimbang pelayan masyrakat, dimana imbasnya mulai terasa sejak awal
kemerdekaan hingga era Orde Baru.
4.3 Dampak
Korupsi
Dampak
Finansial
1. Pengeluaran
tidak penting dengan biaya mahal untuk pembelanjaan, investasi, jasa, atau
pendapatan negara menjadi rendah karena tidak diperlukannya surat ijin,
perijinan, konsensi dan sebagainya;
2. Sub
perincian kualitas penyediaan atau pekerjaan tidak sesuai dengan harga yang
dibayar;
3. Pembebanan
kewajiban keuangan kepada pemerintah atas pembelanjaan atau penanaman modal
yang tidak diperlukan atau tidak bermanfaat yang secara ekonomi biasanya
bernilai sangat besar; dan
4. Pembebanan
atas biaya perbaikan awal kepada pemerintah yang kerap diikuti dengan berbagai
alasan biaya perawatan.
Dampak Ekonomi
Dampak ekonomi dapat
terdiri atas beban kepada pemerintah untuk biaya pelaksanaan, perawatan dan
peminjaman hutang untuk investasi atau pembelanjaan, yang tidak digunakan
secara benar demi kepentingan ekonomi negara. Lebih jauh, dampak ekonomi dapat
terjadi apabila tingkat penanaman modal terus berkurang sebagai akibat
tingginya angka korupsi yang dapat mengancam para penyelenggara bisnis,
sehingga kelak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja.
Dampak Lingkungan
Korupsi
dalam pengadaan barang dan jasa dapat mengakibatkan dampak buruk bagi
lingkungan. Karena proyek-proyek yang dikerjakan biasanya tidak mengikuti
standarisasi lingkungan negara tersebut (atau internasional). Akibat dari
penolakan mengikuti standarisasi tersebut akan berdampak kerusakan parah pada
lingkungan dalam jangka panjang dan tentunya berimplikasi pada tingginya resiko
masalah kesehatan.
Dampak pada Kesehatan
dan Keselamatan Manusia
Resiko
kerusakan dapat terjadi pada kesehatan dan keselamatan manusia berbagai akibat
kualitas lingkungan yang buruk, penanaman modal yang anti-lingkungan atau
ketidakmampuan memenuhi standarisasi kesehatan dan lingkungan. Korupsi akan
menyebabkan kualitas pembangunan buruk, yang dapat berdampak pada kerentanan
bangunan sehingga memunculkan resiko korban.
Dampak pada Inovasi
Korupsi
membuat kurangnya kompetisi yang akhirnya mengarah kepada kurangnya daya
inovasi. Perusahaan-perusahaan yang bergantung pada hasil korupsi tak akan
menggunakan sumber dayanya untuk melakukan inovasi. Hal ini akan memicu
perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan korupsi untuk tidak merasa harus
menanamkan modal berbentuk inovasi karena korupsi telah membuat mereka tidak
mampu mengakses pasar.
Erosi Budaya
Ketika orang menyadari
bahwa tidak jujurnya pejabat publik dan pelaku bisnis, serta lemahnya penegakan
hukum bagi pelaku-pelaku korupsi, akan menyebabkan masyarakat meninggalkan
budaya kejujuran dengan sendirinya dan membentuk kepribadian masyarakat yang
tamak.
Menurunnya Tingkat
Kepercayaan Kepada Pemerintah
Ketika orang menyadari
bahwa pelaku korupsi dilingkungan pemerintahan tidak dijatuhi hukuman, mereka
akan menilai bahwa pemerintah tak dapat dipercaya. Kemudian secara moral, masyarakat seakan mendapat pembenaran atas
tindakannya mencurangi pemerintah karena dianggap tidak melanggar nilai-nilai
kemanusiaan.
Kerugian Bagi
Perusahaan yang Jujur
Jika peserta tender
yang melakukan korupsi tidak mendapat hukuman, hal ini akan menyebabkan peserta
yang jujur akan mengalami kerugian karena kehilangan kesempatan melakukan
bisnisnya.
Ancaman Serius Bagi
Perkembangan Ekonomi
Jika pemerintah
mentolelir korupsi dalam belanja barang dan jasa serta investasi, dan dasar
pemilihan investasi yang tidak dilandasi pada perkembangan perekonomian –
tetapi lebih karena suap- maka cepat atau lambat negara tidak mampu membiayai
investasinya sendiri. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan mengundang
investor asing dengan iming-iming berbagai fasilitas kemudahan. Kebijakan ini
tentu akan melumpuhkan perkembangan ekonomi domestik dan masyarakat miskin akan
menjadi korban.
4.4 Contoh
kasus korupsi di Indonesia
Bandung
–
Majelis Hakim Pengadilan Tindak pidana Korupsi Bandung memvonis Mantan Direktur
Utama Rumah Sakit Cibabat Kota Cimahi, dr Endang KesumaWardani dengan hukuman
penjara 1 tahun. Endang juga dituntut membayar denda Rp 50 juta yang jika tidak
diganti subsidair dengan kurungan satu bulan penjara.
Sidang putusan atas
kasus korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) tersebut digelar di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Rabu
(24/12/2014). Ketua Majelis Hakim yang bertugas dalam kasus tersebut yakni
Djoko Indiarto.
“Mengadili, menyatakan
terdakwa terbukti bersalah telah melakukan tindakan korupsi yang dilakukan
bersam-sama. Menjatuhkan pidana satu tahun penjara dan Rp 50 juta dengan
ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti kurungan satu bulan penjara,”
ujar Djoko.
Vonis tersebut lebih
ringan daripada tuntutan jaksa yakni satu tahun enam bulan.
Sebelum membacakan amar
putusannya, majelis hakim menyebutkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan
bagi terdakwa. Untuk hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa berdampak
kerugian negara yang cukup besar dan kurang berhati-hati sebagai kuasa pengguna
anggaran.
“Yang meringankan,
terdakwa mengakui perbuatannya, menyesali dan belum pernah dihukum. Selain itu,
terdakwa juga cuukup lama mengabdi kepada negara,” sebutnya.
Kasus yang menyeret
Endang tersebut terjadi pada tahun 2011 yang bermula dari adanya bantuan dana
dari APBD Propinsi Jabar senilai Rp 9 milliar untuk pengadaaan 17 macam alat
kesehatan untuk RSU Cibabat.
Adanya bantuan
pengadaan alkes itu rupanya diketahui oleh Nur Annisa, sales manager PT
Behrindo Nusa Perkasa untuk menawarkan alkes ke dr Endang. Setelah melakukan
pertemuan beberapa kali akhirnya disetujui pengadaan alkes itu sesuai yang
ditawarkan Nur Annisa.
Dalam pengadaan alkes
itu menurut jaksa, dr Endang melakukan kesalahan yakni menyusun harga perkiraan
sendiri (HPS) tidak menyusun berdasarkan harga pasar dan survei namun
menggunakan harga yang diberikan oleh Nur Annisa yang harganya jauh lebih
tinggi.
Hal tersebut
bertentangan dengan peraturan presiden no 54 tahun 2010 tentang pengafaan
barang dan jasa. Kemudian dalam perjalannnya diketahui bahwa PT Behrindo Nusa
Perdana dibuat seolah-olah merupakan sub distributor dari tiga perusahaan
distributor alkes.
Selanjutnya pengadaan
barang tersebut setelah dikirim ternyata tidak sesuai spesifikasi. Akibat perbuatan
terdakwa dr Endang dan Nur Annisa dinilai telah memperkaya PT Behrindo Nusa
Perkasa senilai Rp 3,1 miliar.
Menurut jaksa Suroto,
terdakwa dr Endang bersama-sama Nur Annisa telah melanggar pasal 2 ayat 1 jo
pasal 18 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, sesuai dakwaan primer.
4.5 Upaya
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
1.
Peningkatan
kesejahteraan aparat penegak hokum
2.
Penghukuman
yang efektif dan berefek jera
3.
Menjadikan
Hukum Sebagai Panglima Serta Mengefektifkan Sumber-Sumber
Penerimaan Negara.
4.
Sita
Massal Terhadap Aset Koruptor untuk Pengembalian Keuangan negara Yang dikorupsi.
5.
Memaksimalkan
peran serta public
6.
Perbaikan
dan Transparansi dalam Penerimaan PNS
7.
Pemaksimalan
Pembuktian Terbalik Dan Perlindungan Saksi
8.
Mengoptimalkan
Fungsi Aparat Penegak Hukum dan instansi terkait seperti PPATK dan LPSK
9.
Menjalin
Kerjasama Dengan Dunia Internasional
10. Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang)
Antikorupsi oleh Presiden
BAB
V
KESIMPULAN
5.1
Kesimpulan
1. Korupsi
di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh pihak yang memiliki jabatan dalam
pemerintahan.
2. KPK
yang merupakan lembaga pemberantasan korupsi yang dibentuk oleh Pemreintah
masih belum membuat koruptor jera.
3. Para koruptor sudah kehilangan moralitasnya sebagai
manusia dan warga negara
5.2
Saran
Korupsi merupakan
kejahatan yang dapat merugikan bangsa. Unttuk itu, sebagai warga indonesia
seharusnya kita sadar bahwa korupsi merupakan masalah bersama yang membawa negara ini kepada keburukan dan keterpurukan. Sudah
saatnya dibuat hukum yang tegas untuk mengembalikan bangsa ini kepada jalurnya
yang benar, dan tak ketinggalan pula: pendidikan hati nurani demi tajamnya
mentalitas bernegara. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengedepankan peran akal budi. Akal budi inilah yang memampukan setiap manusia
untuk mengarahkan diri kepada pencapaian kebaikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Zachrie,Ridwan
& Wijayanto.2010.Korupsi Mengorupsi
Indonesia:sebab, akibat, dan prospek pemberantasan.Jakarta:Gramedia
Buku
Democrazy Pilkada